1. Pengertian pajak
Di
dalam eksiklopedi Indonesia disebutkan bahwa pajak adalah suatu pembayaran yang
dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengelu-pengeluaran yang dilakukan
dalam penyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.[1]
Pajak
menurut definisi para ahli keuangan ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap
wajib pajak, yang harus disetorkan sesuatu kepada negara dengan ketentuan tanpa
mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran
umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik
dan tujuan-tujuan lain yang dicapai oleh negara.[2]
Erwin
R. A., sebagaimana dalam buku Essay inpixation Y : Tax is compulsari
contribution from the person to the government to defray thhhe exspensis in
curred in the common of all, without reference to special benefit comperred.[3]
Dari
definisi di atas terlihat adanya kontribusi seseorang yang ditunjukan kepada
negara tanpa adanya adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada
seseorang. Memang bagaimanapun juga pajak itu di tujukan manfaatnya kepada
masyarakat.
Menurut
Philip E. Taylor dalam buku the ekonomic of fiance yaitu : “Tax is
compulsari contribution from the person to the government to defray the
expenses in curred in the common interest of all, with little reference to
special benefit comperred.”[4]
Menurut
Mr. Dr N. J. Feldmann dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia, pajak
adalah prestasi yang dipaksakansepihak oleh dan terutang kepada pengusaha
(menurut Norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontra prestasi
dan semata-mata digunakan untuk menuup pengeluaran-pengeluaran umum.[5]
Menurut
M. J. H. Smeets dalam buku The Economische Betekenis Belastingen, pajak
adalah prestasi kepada pemerintah yang tetuang dalam norma-norma umum dan yang
dapat dapaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam
hal yang individual, dimaksudkan unuk membiayai pengeluaran pemerintah.[6]
S.
Soeparman Soehamidjaja dari desertasinya berjudul pajak berdasarkan Azas gotong
royong menyatakan bahwa pajak adalah luaran wajib berupa uang atau barang yang
dipungut pengasa berdasarkan norma-norma hak guna menutupi biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum.[7]
Rachmat
soemitro berpendapat pajak adalah peraliahan kekayaan dan sektor swasta
kesektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak
mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukan,
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat
pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar
bidang keuangan negara.[8]
Prof. Dr. P. J. A. Adriani Guru Besar Hukum pajak
UniversitasAmsterdam mengatakan, bahwa pajak yaitu iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan yang tetuang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan.
Peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran. Pengeluaran umum
berhubungan dengan tugas negara harus menyelenggarakan pemerintah.[9]
Sarjana prancis, Leroy Beauliaeu
dalam bukunya berjudul “Tralite De La Scince Des Finances”, pajak adalah
bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang unuk menutup belanja
pemerintah.[10]
Definisi
yang diberikan oleh Duetsche Reichs Abgaben Ordung (RAO-1919) mengatakan bahwa
pajak adalah bantuan uang secara Insidentil atau secara periodik (dengan tidak
ada kontra prestasinya) yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (Negara)
untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu “tatbestand” (sasaran
pemajakan) yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.[11]
Dari
definisi pajak yang dikemukakan oleh para sarjana diatas mengandung lima unsur,
meskipun masing-masing definisi tidak lengkap unsur yang dikemukakan. Kelima
unsur tersebut adalah :
a.
Suatu
pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki pemerintah.
b.
Harus
berdasarkan norma-norma atau undang-undang
c.
Merupakan
iuran rakyat kepada pemerintah secara Insidentil atau priodik,dimana yang
dimaksud dengan rakyat baik perseorangan maupun badan
d.
Prestasi
pemerintah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukan.
e.
Untuk
membiayai pengeluaran umum.
Dari
kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak diatas, dan sesuai
dengan perundang-undangan yang mendukung berlakunya pemungutan pajak di
Indonesia serta fungsi dalam mencapai sasaran dibidang sosial, ekonomi.
Definisi
pajak adalah iuran rakyat kepada negara, berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dengan imbalan yang diberikan secara tidak langsung (umum) oleh
pemerintah, gunanya untuk membiayai kebutuhan pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengatur dibidang sosial ekonomi.[12]
Adapun
pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan
pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat tunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran, pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelanggarakan pemerintahan.[13]
2. Sejarah perpajakan
di Indonesia
Meskipun
pada saat ini kita sudah memiliki undang-undang perpajakan yang memadai ada
baiknya kita menengok sejenak perkembangan perpajakan pada masa lalu.
Perkembangan sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa
kurun waktu.
a. Masa sebelum Indonesia merdeka
Sebelum
negara kita mencapai pada puncak kemerdekaan, sudah kita ketahui bahwa Belanda
dan Jepang yang dahulu menjajah Indonesia. Pada masa pendudukan belanda,
kiranya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang lahir dan bahkan
diberlakukan sampai sekarang kurun waktu setelah Indonesia merdeka.
Perlu
diketahui perundang-undangan perpajakan sebagai produk kolonial belanda
memiliki segi negatif, antara lain lebih menekankan seolah-olah wajib pajak merupakan objek pajak
belaka dari aparat pajak (fiscus) ini berarti jumlah pajak yang harus di
bayar oleh wajib pajak sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak (fiscus).
Hasil pajak tidak sepenuhnya diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat akan tetapi
dipergunakan untuk kepentingan bangsa Belanda itu sendiri. Sehingga fungsi
pajak hanya bertitik tolak pada pemasukan uang yang sebesar-besarnya demi
kepentingan kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemungutan pajak pada saat itu
dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang amat berat.[14]
Pada
masa kekuasaan Jepang yang singkat, yaitu dari tahun 1942 sampai dengan tahun
1945, tidak ada perubahan berarti menyangkut undang-undang perpajakan peraturan
perpajakan yang diciptakan oleh belanda sebagian besar tetap dijalankan.
Kelihatannya pada masa itu, Jepang tidak sempat memikirkan untuk mengubah hukum
pajak Belanda karena sedang terlihat perang dengan sekutu guna mewujudkan
cita-cita Asia Timur Raya.
b. Masa Indonesia merdeka sampai sekarang
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,pada tanggal 17 agustus 1945. dari
segi ketatanegaraan berakhirlah kekuasaan pemerintahan kolonial di Indonesia
dari suasana terjajah beralih kesuasana merdeka.[15]
Di
dalam kemerdekaan ini, dari tahun ketahun secara berangsur-angsur ada
perkembangan yang berupa pembentukan undang-undang yang baru, tambahan dan
penyesuaian terhadap undang-undang perpajakan kolonial Belanda.
Pemerintah
Indonesia menerbitkan undang-undang darurat No 36 tahun 1950 tentang berlakunya
ordonansi mengenal masalah-masalah pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan
negara Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian disahkan menjadi
undang-undang melalui undang-undang no 4 tahun 1952. Ordonansi-ordonansi yang
disahkan dan berlaku dalam negara kesatuan Republik Indonesia adalah :
1)
Undang-undang
pajak radio
2)
Undang-undang
pajak pembangunan I
3)
Undang-undang
darurat tentang pajak peredaran
4)
Ordonansi
peralihan 1944
5)
Ordonansi
pajak upah
6)
Ordonansi
pajak rumah tangga 1908
7)
Ordonansi
pajak kendaraan bermotor 1934
8)
Ordonansi
bea balik nama
9)
Ordonansi
pajak potong 1936
10)
Aturan
bea materi 1921
11)
Ordonansi
succoessie 1901
12)
Ordonansi
pajak kekayaan 1932.[16]
Undang-undang
baru ataupun perubahan-perubahan itu disesuaikan dengan suasana dan jiwa
kemerdekaan ditentu juga di sesuaikan dengan perekonomian dan dianggap cukup
memadai untuk saat itu.
Dapat
dikemukakan beberapa undang-undang pajak sebagai berikut :
1)
Undang-undang No. II darurat tahun 1957 tentang peraturan umum
pajak
daerah (LN. 1957 No. 56 TLN. 1287) yang dengan undang-undang No. I tahun 1961
(LN 1961No. 3 TLN 2124 telah ditetapkan menjadi undang-undang.
2)
Undang-undang
No. 35 Tahun 1953 tentang penetapan undang-undang No. 19 Tahun 1951 tentang
pemungutan pajak penjualan (LN 1951 No. 94) sebagi undang-undang (LN 1953 No. 85,
TLN No. 489) terakhir diubah oleh undang-undang No. 2 tahun 1968.
3)
Undang-undang
No. 19 tahun 1959 tentang penagihan pajak Negara dengan surat paksa (LN Tahun
1959 No. 63 TLN No. 1850).
4)
Undang-undang
No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal Asing (LN Tahun 1967 No. 1 TLN. No
2818).
5)
Undang-undang
No. II tahun 1967 tentang perubahan dan penyempurnaan tata cara penungutan
pajak pendapatan 1944, pajak kekayaan 1932, dan pajak perseroan 1925 (LN Tahun
1967 No. 18, TLN 2827) yang lebih dikenal dengan MPS dan MPO.
6)
Undang-undang
pajak penjualan 1951 (LN tahun 1968 No. 14 TLN No. 2847)
7)
Undang-undang
No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (LN tahun 1968 No. 33 TLN
No. 2853).[17]
Setelah
Indonesia merdeka sampai tahun 1979, meskipun Indonesia telah merdeka. Hukum
pajak tidak banyak berubah, hukum pajak yang berlaku masih meletakan
landasannya pada kekuasaan aparat pemungut pajak.
Pada
tahun 1967 diperkenalkan selp Assesment sistem, yaitu dengan diundangkannya UU
no. 8 tahun 1967 tentang tata cara pemungutan pajak melalui MPS dan MPO. Akan
tetapi karena akan kewenangan aparat pemungutan pajak masih sangat luas dalam
hal menentukan jumlah pajak. Yang terhubung oleh wajib pajak, maka peranan
akuntasi pembukuan dalam perpajakan belum kuat.
Tahun
1979 sampai dengan tahun 1983. melalui Inpres No. 6 tahun 1979 yang dikenal
dengan paket 27 Maret 1979, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No. 108/KMK.077/1979, wajib pajak diberi keringanan dalam penetapan pajak
apabila yang bersangkutan menggunakan laporan pemeriksaan publik. Peraturan
baru ini sekaligus membatasi kewenangan parat perpajakan dalam menetapkan
jumlah pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh akuntan publik tersebut tidak sebenarnya untuk dikoreksi, kecuali
apabila laopran keuangan tersebut ternyata tidak benar. Dengan demikian, sejak
tahun 1979 peranan akuntansi atau pembukuan dalam perpajakan semakin meningkat.
Namun demikian, kesempatan ini ternyata tidak berhasil dimanfaatkan oleh wajib
pajak maupun profesi akuntan publik. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa
akuntan publik yang menyalahgunakan itikad baik dari pemerintah tersebut.
Tahun
1984 sampai dengan sekarang. Sejak awal tahun 1984, yaitu dengan diundangkannya
UU No. 6 tahun 1983, tentang “ketentuan umum dan tatacara perpajakan”, maka
sistem perpajakan Indonesia secara mutlak menganut self assessment sistem.
Dalam sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajaknya yang
terhutang. Aparat perpajakan bertugas melaksanakan pengendalian administrasi
pemungutan pajak, yang meliputi tugas-tugas; pembinaan, penelitian, pengawasan,
daan pengenaan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan pemberian keprcayaan penuh
kepada masyarakat wajib pajak, berarti peranan akuntansi atau pembukuan dalam
perpajakan sangat besar.
[1]
Hasan Shadily, Eksiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru –
Van Hoeve, 1984), h. 2512
[2] M.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi Dan Lembaga Keuangan
Lainnya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h. 23
[3]
Waluyo Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Salemba
Empat, 2002), h. 5
[4] Ibid.,
h. 6
[5] Ibid.,
h. 8
[6] Ibid.,
h. 9
[7] Ibid.,
h. 10
[8]
Rahmat Sumitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, (Bandung, Eresco,
1992), h. 11
[9] Ibid.,
h. 12
[10]
Waluyo Wirawan B. Ilyas, Op. Cit, h. 10
[11]
B. Boediono, Perpajakan Indonesia, Teori Perpajakan Kebijaksanaan
Perpajakan, Pajak Luar Negeri, (Jakarta : Diadit Media, 2000), h. 26
[12] Ibid.,
h. 29
[13]
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta :
Gema Insan Press, 2002), h. 54
[14]
Bambang, Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta : Pradnya
Pramita, 1994), h. 5
[15] Ibid.,
h. 7
[16]
B. Boediono, Op. Cit., h. 87 – 88
Thanks for right nice information about this best topic Such an Awesome Blog !! Keep up the Good Work !! all details about it really interesting.
ReplyDelete.
kolambaca.com