Breaking

Monday, January 23, 2023

Pengertian Pajak dan Sejarah Perpajakan Di Indonesia

  Pengertian Pajak dan Sejarah Perpajakan Di Indonesia

1. Pengertian pajak
Di dalam eksiklopedi Indonesia disebutkan bahwa pajak adalah suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengelu-pengeluaran yang dilakukan dalam penyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.[1]
Pajak menurut definisi para ahli keuangan ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan sesuatu kepada negara dengan ketentuan tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang dicapai oleh negara.[2]
Erwin R. A., sebagaimana dalam buku Essay inpixation Y : Tax is compulsari contribution from the person to the government to defray thhhe exspensis in curred in the common of all, without reference to special benefit comperred.[3]
Dari definisi di atas terlihat adanya kontribusi seseorang yang ditunjukan kepada negara tanpa adanya adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada seseorang. Memang bagaimanapun juga pajak itu di tujukan manfaatnya kepada masyarakat.
Menurut Philip E. Taylor dalam buku the ekonomic of fiance yaitu : “Tax is compulsari contribution from the person to the government to defray the expenses in curred in the common interest of all, with little reference to special benefit comperred.”[4]
Menurut Mr. Dr N. J. Feldmann dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia, pajak adalah prestasi yang dipaksakansepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut Norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontra prestasi dan semata-mata digunakan untuk menuup pengeluaran-pengeluaran umum.[5]
Menurut M. J. H. Smeets dalam buku The Economische Betekenis Belastingen, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang tetuang dalam norma-norma umum dan yang dapat dapaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan unuk membiayai pengeluaran pemerintah.[6]
S. Soeparman Soehamidjaja dari desertasinya berjudul pajak berdasarkan Azas gotong royong menyatakan bahwa pajak adalah luaran wajib berupa uang atau barang yang dipungut pengasa berdasarkan norma-norma hak guna menutupi biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum.[7]
Rachmat soemitro berpendapat pajak adalah peraliahan kekayaan dan sektor swasta kesektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan negara.[8]
Prof. Dr. P. J. A. Adriani Guru Besar Hukum pajak UniversitasAmsterdam mengatakan, bahwa pajak yaitu iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan yang tetuang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan. Peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran. Pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara harus menyelenggarakan pemerintah.[9]
Sarjana prancis, Leroy Beauliaeu dalam bukunya berjudul “Tralite De La Scince Des Finances”, pajak adalah bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang unuk menutup belanja pemerintah.[10]
Definisi yang diberikan oleh Duetsche Reichs Abgaben Ordung (RAO-1919) mengatakan bahwa pajak adalah bantuan uang secara Insidentil atau secara periodik (dengan tidak ada kontra prestasinya) yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (Negara) untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu “tatbestand” (sasaran pemajakan) yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.[11]
Dari definisi pajak yang dikemukakan oleh para sarjana diatas mengandung lima unsur, meskipun masing-masing definisi tidak lengkap unsur yang dikemukakan. Kelima unsur tersebut adalah :
a.   Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki pemerintah.
b.   Harus berdasarkan norma-norma atau undang-undang
c.   Merupakan iuran rakyat kepada pemerintah secara Insidentil atau priodik,dimana yang dimaksud dengan rakyat baik perseorangan maupun badan
d.   Prestasi pemerintah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukan.
e.   Untuk membiayai pengeluaran umum.
Dari kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak diatas, dan sesuai dengan perundang-undangan yang mendukung berlakunya pemungutan pajak di Indonesia serta fungsi dalam mencapai sasaran dibidang sosial, ekonomi.
Definisi pajak adalah iuran rakyat kepada negara, berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan imbalan yang diberikan secara tidak langsung (umum) oleh pemerintah, gunanya untuk membiayai kebutuhan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur dibidang sosial ekonomi.[12]
Adapun pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat tunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran, pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelanggarakan pemerintahan.[13]

2. Sejarah perpajakan di Indonesia
Meskipun pada saat ini kita sudah memiliki undang-undang perpajakan yang memadai ada baiknya kita menengok sejenak perkembangan perpajakan pada masa lalu. Perkembangan sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa kurun waktu.
a. Masa sebelum Indonesia merdeka
Sebelum negara kita mencapai pada puncak kemerdekaan, sudah kita ketahui bahwa Belanda dan Jepang yang dahulu menjajah Indonesia. Pada masa pendudukan belanda, kiranya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang lahir dan bahkan diberlakukan sampai sekarang kurun waktu setelah Indonesia merdeka.
Perlu diketahui perundang-undangan perpajakan sebagai produk kolonial belanda memiliki segi negatif, antara lain lebih menekankan  seolah-olah wajib pajak merupakan objek pajak belaka dari aparat pajak (fiscus) ini berarti jumlah pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak (fiscus). Hasil pajak tidak sepenuhnya diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat akan tetapi dipergunakan untuk kepentingan bangsa Belanda itu sendiri. Sehingga fungsi pajak hanya bertitik tolak pada pemasukan uang yang sebesar-besarnya demi kepentingan kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemungutan pajak pada saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang amat berat.[14]
Pada masa kekuasaan Jepang yang singkat, yaitu dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, tidak ada perubahan berarti menyangkut undang-undang perpajakan peraturan perpajakan yang diciptakan oleh belanda sebagian besar tetap dijalankan. Kelihatannya pada masa itu, Jepang tidak sempat memikirkan untuk mengubah hukum pajak Belanda karena sedang terlihat perang dengan sekutu guna mewujudkan cita-cita Asia Timur Raya.

b. Masa Indonesia merdeka sampai sekarang
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,pada tanggal 17 agustus 1945. dari segi ketatanegaraan berakhirlah kekuasaan pemerintahan kolonial di Indonesia dari suasana terjajah beralih kesuasana merdeka.[15]
Di dalam kemerdekaan ini, dari tahun ketahun secara berangsur-angsur ada perkembangan yang berupa pembentukan undang-undang yang baru, tambahan dan penyesuaian terhadap undang-undang perpajakan kolonial Belanda.
Pemerintah Indonesia menerbitkan undang-undang darurat No 36 tahun 1950 tentang berlakunya ordonansi mengenal masalah-masalah pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan negara Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian disahkan menjadi undang-undang melalui undang-undang no 4 tahun 1952. Ordonansi-ordonansi yang disahkan dan berlaku dalam negara kesatuan Republik Indonesia  adalah :
1)   Undang-undang pajak radio
2)   Undang-undang pajak pembangunan I
3)   Undang-undang darurat tentang pajak peredaran
4)   Ordonansi peralihan 1944
5)   Ordonansi pajak upah
6)   Ordonansi pajak rumah tangga 1908
7)   Ordonansi pajak kendaraan bermotor 1934
8)   Ordonansi bea balik nama
9)   Ordonansi pajak potong 1936
10)       Aturan bea materi 1921
11)       Ordonansi succoessie 1901
12)       Ordonansi pajak kekayaan 1932.[16]  

Undang-undang baru ataupun perubahan-perubahan itu disesuaikan dengan suasana dan jiwa kemerdekaan ditentu juga di sesuaikan dengan perekonomian dan dianggap cukup memadai untuk saat itu.

Dapat dikemukakan beberapa undang-undang pajak sebagai berikut :
1)   Undang-undang No. II darurat tahun 1957 tentang peraturan umum pajak daerah (LN. 1957 No. 56 TLN. 1287) yang dengan undang-undang No. I tahun 1961 (LN 1961No. 3 TLN 2124 telah ditetapkan menjadi undang-undang.
2)   Undang-undang No. 35 Tahun 1953 tentang penetapan undang-undang No. 19 Tahun 1951 tentang pemungutan pajak penjualan (LN 1951 No. 94) sebagi undang-undang (LN 1953 No. 85, TLN No. 489) terakhir diubah oleh undang-undang No. 2 tahun 1968.
3)   Undang-undang No. 19 tahun 1959 tentang penagihan pajak Negara dengan surat paksa (LN Tahun 1959 No. 63 TLN No. 1850).
4)   Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal Asing (LN Tahun 1967 No. 1 TLN. No 2818).
5)   Undang-undang No. II tahun 1967 tentang perubahan dan penyempurnaan tata cara penungutan pajak pendapatan 1944, pajak kekayaan 1932, dan pajak perseroan 1925 (LN Tahun 1967 No. 18, TLN 2827) yang lebih dikenal dengan MPS dan MPO.
6)   Undang-undang pajak penjualan 1951 (LN tahun 1968 No. 14 TLN No. 2847)
7)   Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (LN tahun 1968 No. 33 TLN No. 2853).[17]

Setelah Indonesia merdeka sampai tahun 1979, meskipun Indonesia telah merdeka. Hukum pajak tidak banyak berubah, hukum pajak yang berlaku masih meletakan landasannya pada kekuasaan aparat pemungut pajak.
Pada tahun 1967 diperkenalkan selp Assesment sistem, yaitu dengan diundangkannya UU no. 8 tahun 1967 tentang tata cara pemungutan pajak melalui MPS dan MPO. Akan tetapi karena akan kewenangan aparat pemungutan pajak masih sangat luas dalam hal menentukan jumlah pajak. Yang terhubung oleh wajib pajak, maka peranan akuntasi pembukuan dalam perpajakan belum kuat.
Tahun 1979 sampai dengan tahun 1983. melalui Inpres No. 6 tahun 1979 yang dikenal dengan paket 27 Maret 1979, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 108/KMK.077/1979, wajib pajak diberi keringanan dalam penetapan pajak apabila yang bersangkutan menggunakan laporan pemeriksaan publik. Peraturan baru ini sekaligus membatasi kewenangan parat perpajakan dalam menetapkan jumlah pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik tersebut tidak sebenarnya untuk dikoreksi, kecuali apabila laopran keuangan tersebut ternyata tidak benar. Dengan demikian, sejak tahun 1979 peranan akuntansi atau pembukuan dalam perpajakan semakin meningkat. Namun demikian, kesempatan ini ternyata tidak berhasil dimanfaatkan oleh wajib pajak maupun profesi akuntan publik. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa akuntan publik yang menyalahgunakan itikad baik dari pemerintah tersebut.
Tahun 1984 sampai dengan sekarang. Sejak awal tahun 1984, yaitu dengan diundangkannya UU No. 6 tahun 1983, tentang “ketentuan umum dan tatacara perpajakan”, maka sistem perpajakan Indonesia secara mutlak menganut self assessment sistem. Dalam sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajaknya yang terhutang. Aparat perpajakan bertugas melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak, yang meliputi tugas-tugas; pembinaan, penelitian, pengawasan, daan pengenaan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan pemberian keprcayaan penuh kepada masyarakat wajib pajak, berarti peranan akuntansi atau pembukuan dalam perpajakan sangat besar.




[1] Hasan Shadily, Eksiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1984), h. 2512
[2] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h. 23
[3] Waluyo Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2002), h. 5
[4] Ibid., h. 6
[5] Ibid., h. 8
[6] Ibid., h. 9
[7] Ibid., h. 10
[8] Rahmat Sumitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, (Bandung, Eresco, 1992), h. 11
[9] Ibid., h. 12
[10] Waluyo Wirawan B. Ilyas, Op. Cit, h. 10
[11] B. Boediono, Perpajakan Indonesia, Teori Perpajakan Kebijaksanaan Perpajakan, Pajak Luar Negeri, (Jakarta : Diadit Media, 2000), h. 26
[12] Ibid., h. 29
[13] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta : Gema Insan Press, 2002), h. 54
[14] Bambang, Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1994), h. 5
[15] Ibid., h. 7
[16] B. Boediono, Op. Cit., h. 87 – 88


1 comment:

  1. Thanks for right nice information about this best topic Such an Awesome Blog !! Keep up the Good Work !! all details about it really interesting.
    .
    kolambaca.com

    ReplyDelete