Breaking

Monday, January 23, 2023

Dasar Hukum Pajak dan Bentuk-Bentuk Pajak

  Dasar Hukum Pajak dan Bentuk-Bentuk Pajak

a) Dasar Hukum Pajak
Setiap negara mempunyai falsafah pajak tersendiri, demikian dengan negara Indonesia. Sebagaimana diketahui, negara Indonesia mempunyai falsafah negara yang di sebut pancasila. Maka kemudian falsafah pajak di Indonesia pun berdasarkan pancasila.

Hukum pajak di Indonesia mempunyai hirarki yang jelas dengan urutan yaitu Undang-undang Dasar 1945, undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden dan sebagainya. Hierarki ini dijelaskan secara ketat peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi.
Pajak adalah masalah keuangan negara. Dasar yang digunakan pemerintah untuk mengatur masalah keuangan negara yaitu pasal 23 UUD 1945, meskipun UUD 1945 sudah berlaku sejak negara merdeka (diganti antara 1950 sampai tahun 1959, kemudian diberlakukan kembali dengan Detrit presiden tahun 1959), Undang-undang Pajak masih menggunakan produk undang-undang zaman kolonial Belanda sampai pembaharuan perpajakan selesai tahun 1983. undang-undang kolonial pada saat itu adalah aturan bea Materai 1932. ordonansi pajak perseorangan 1925, ordonansi pajak kekayaan 1032 dan ordonansi pajak pendapatan 1944.[1]
Dalam rangka reformasi perpajakan nasional, pemerintah bersama-sama dengan DPR berhasil melahirkan undang-undang perpajakan yang baru, yaitu undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan, undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak atas penjualan barang mewah, undang-undang nomor 12 tahun 1983 tentang pajak bumi dan bangunan, undang-undang nomor 13 tahun 1983 tentang bea materai. Di dalam undang-undang tersebut di atas terdapat pula aspek hukum dengan mencantumkan sanksi. Sanksi hukum apabila wajib pajak lalai atau sengaja tidak menunaikan kewajibannya untuk membayar pajak.
Selajutnya, dilakukan pembaharuan kembali pada tahu 1994 dan pada tahun 1997 terdapat pula undang-undang perpajakan yang baru dilahirkan. Pada tahun 197 telah dilahirkan undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak, undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa, dan undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.[2]
Dalam era reformasi ini telah pula dilakukan terhadap undang-undang perpajakan meliputi undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, undang-undang nomor 18 tahun 2000 tentang penghasilan pajak dengan surat paksa dan undang-undang nomor 19 tahun 2000 tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.[3] 
Keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas Negara sehingga pajak merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.[4]
Hukum pajak dibedakan antara hukum pajak material (material tax law) dan hukum pajak formal (formal fax law).
1.   Hukum pajak material
Hukum pajak materil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa yang dikecualikan  dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Menurut hukum positif Indonesia, hukum pajak material diatur dalam :
a)   Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan.
b)   Undang-undang nomor 18 tahun 2000 tahun tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa di pajak penjualan atas barang mewah.
c)   Undang-undang nomor 12 tahun 1994, tentang perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan.
d)   Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang bea materi.
e)   Undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
f)    Undang-undang nomor 20 tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang nomor 21 tahun tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2.  Hukum Pajak formal adalah:
Hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan. Hukum ini memuat antara lain :
a)   Tata cara penyelenggarakan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b)   Hak-hak pemerintah (fiscus) untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbauatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c)   Kewajiban wajib pajak menyelenggarakan, pembukuan atau pencatatan dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan bandingan.[5]
Hukum pajak positif yang memuat hukum pajak formal adalah
a)   Undang-undang nomor 16 tahun 2000tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan disingkat UU KUP
b)   Undang-undang nomor 19 tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang no 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
c)   Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak.[6]

Hukum pajak formal adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan. Hukum pajak formal secara praktis disebutkan juga sebagai ketentuan formal. MisaLNya hukum pajak material menetapkn bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlaahnya diatas PTKP (penghasilan tidak kena pajak), maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah berubah dari subjek pajak menjadi wajib pajak.
Bagaimana supaya wajib pajak tersebut dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak? Hal ini diatur dalam hukum pajak formal, yaitu undang-undang nomor 16 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan atau yang biasa disebut dengan UU KUP.
Berdasarkan UU KUP tersebut, langkah-langkah yang harus ditempuh oleh wajib pajak yang bersangkutan adalah :
a)   Pertama-tama mendaftarkan diri di KPP dimana ia bertempat tinggal.
b)   Menerima NPWP dan formulir SPT (surat pemberitahuan) berupa SSP (surat setoran pajak) dari KPP.
c)   Mengisi SPT masa dan SPT tahunan.
d)   Menyetor pajak yang terhutang kekas Negara atau bank dengan menggunakan SSP.
e)   Melaporkan hal penyetoran tersebut ke KPP dengan menggunakan SSP yang sekaligus berfungsi sebagi SPT masa.
f)    Menyampaikan SPT PPH tahunan ke KPP.[7]

Jika wajib pajak yang bersangkutan dengan alasan apapun, baik karena kealpaan maupun dengan sengaja ttidak memenuhi kewajiban perpajakan tersebut, maka pemerintah (fiscul) berwenang menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang ditambah dengan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana.[8]

b. Bentuk-Bentuk Pajak
Dalam bentuk-bentuk pajak ini ada beberapa pengelompokkan, yaitu sebagai berikut :
1.   Pajak menurut golongannya, yaitu :
a.   Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Pajak ini harus menjadi beban sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan. Contohnya; pajak penghasilan, pajak penghasilan dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b.   Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat di bebankan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contohnya; pajak pertambahan nilai.
2.   Pajak menurut sifatnya, yaitu :
a.   Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.
b.   Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan pada keadaan diri wajib pajak. Contohnya; pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penjualan atas barang mewah.
3.   Pajak menurut lembaga pemungutannya, yaitu :
a.   Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contohnya: pajak penghasilan, PPN dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan dan bea materai.
b.   Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas :
1)   Pajak propinsi, Contohnya: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan baker kendaraan bermotor.
2)   Pajak kabupaten atau kota madya
3)   Contohnya; pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan pajak penerangan jalan.




[1] Sunagi, Zakat dan Pajak di Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), h. 12
[2] Ibid., h. 15
[3] Ibid. 26
[4] Sapri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, (Jakarta : Granit, 2003), h. 114
[5] Mardiasmo, Op. Cit., h. 5
[6] Ibid., h. 125
[7] Ibid. h. 127
[8] Siti Resmi, Perpajakan Teori Dan Kasus, (Jakarta : Salemba Empat, 2005), h. 2




No comments:

Post a Comment