a) Dasar Hukum Pajak
Setiap negara
mempunyai falsafah pajak tersendiri, demikian dengan negara Indonesia.
Sebagaimana diketahui, negara Indonesia mempunyai falsafah negara yang di sebut
pancasila. Maka kemudian falsafah pajak di Indonesia pun berdasarkan pancasila.
Hukum pajak di
Indonesia mempunyai hirarki yang jelas dengan urutan yaitu Undang-undang Dasar
1945, undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden dan sebagainya.
Hierarki ini dijelaskan secara ketat peraturan yang tingkatnya lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi.
Pajak adalah masalah
keuangan negara. Dasar yang digunakan pemerintah untuk mengatur masalah
keuangan negara yaitu pasal 23 UUD 1945, meskipun UUD 1945 sudah berlaku sejak
negara merdeka (diganti antara 1950 sampai tahun 1959, kemudian diberlakukan
kembali dengan Detrit presiden tahun 1959), Undang-undang Pajak masih menggunakan
produk undang-undang zaman kolonial Belanda sampai pembaharuan perpajakan
selesai tahun 1983. undang-undang kolonial pada saat itu adalah aturan bea
Materai 1932. ordonansi pajak perseorangan 1925, ordonansi pajak kekayaan 1032
dan ordonansi pajak pendapatan 1944.[1]
Dalam rangka
reformasi perpajakan nasional, pemerintah bersama-sama dengan DPR berhasil
melahirkan undang-undang perpajakan yang baru, yaitu undang-undang nomor 6
tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan, undang-undang nomor
7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, undang-undang nomor 8 tahun 1983
tentang pajak pertambahan nilai dan pajak atas penjualan barang mewah,
undang-undang nomor 12 tahun 1983 tentang pajak bumi dan bangunan,
undang-undang nomor 13 tahun 1983 tentang bea materai. Di dalam undang-undang
tersebut di atas terdapat pula aspek hukum dengan mencantumkan sanksi. Sanksi
hukum apabila wajib pajak lalai atau sengaja tidak menunaikan kewajibannya
untuk membayar pajak.
Selajutnya, dilakukan
pembaharuan kembali pada tahu 1994 dan pada tahun 1997 terdapat pula
undang-undang perpajakan yang baru dilahirkan. Pada tahun 197 telah dilahirkan
undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak,
undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah,
undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa,
dan undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan.[2]
Dalam era reformasi
ini telah pula dilakukan terhadap undang-undang perpajakan meliputi
undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, undang-undang
nomor 18 tahun 2000 tentang penghasilan pajak dengan surat paksa dan
undang-undang nomor 19 tahun 2000 tentang bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan dan undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah.[3]
Keseluruhan dari
peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang
dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas Negara sehingga pajak
merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum
antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak.[4]
Hukum pajak dibedakan
antara hukum pajak material (material tax law) dan hukum pajak formal (formal
fax law).
1.
Hukum
pajak material
Hukum
pajak materil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan siapa-siapa
yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa yang dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan
pajak dan berapa yang harus dibayar.
Menurut
hukum positif Indonesia, hukum pajak material diatur dalam :
a)
Undang-undang
nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan.
b)
Undang-undang
nomor 18 tahun 2000 tahun tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa di
pajak penjualan atas barang mewah.
c)
Undang-undang
nomor 12 tahun 1994, tentang perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 1985
tentang pajak bumi dan bangunan.
d)
Undang-undang
nomor 13 tahun 1985 tentang bea materi.
e)
Undang-undang
nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang
pajak daerah dan retribusi daerah.
f)
Undang-undang
nomor 20 tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang nomor 21 tahun tentang
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2. Hukum Pajak formal adalah:
Hukum
pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak material
menjadi kenyataan. Hukum ini memuat antara lain :
a)
Tata
cara penyelenggarakan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b)
Hak-hak
pemerintah (fiscus) untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai
keadaan, perbauatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c)
Kewajiban
wajib pajak menyelenggarakan, pembukuan atau pencatatan dan hak-hak wajib pajak
misalnya mengajukan keberatan dan bandingan.[5]
Hukum pajak positif
yang memuat hukum pajak formal adalah
a)
Undang-undang
nomor 16 tahun 2000tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 6 tahun
1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan disingkat UU KUP
b)
Undang-undang
nomor 19 tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang no 19 tahun 1997
tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
c)
Undang-undang
nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak.[6]
Hukum
pajak formal adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan
hukum pajak material menjadi kenyataan. Hukum pajak formal secara praktis
disebutkan juga sebagai ketentuan formal. MisaLNya hukum pajak material
menetapkn bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlaahnya
diatas PTKP (penghasilan tidak kena pajak), maka orang yang bersangkutan telah
mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah berubah dari
subjek pajak menjadi wajib pajak.
Bagaimana supaya wajib pajak tersebut dapat memenuhi
kewajibannya untuk membayar pajak? Hal ini diatur dalam hukum pajak formal,
yaitu undang-undang nomor 16 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas
undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan
atau yang biasa disebut dengan UU KUP.
Berdasarkan UU KUP tersebut, langkah-langkah yang harus
ditempuh oleh wajib pajak yang bersangkutan adalah :
a)
Pertama-tama
mendaftarkan diri di KPP dimana ia bertempat tinggal.
b)
Menerima
NPWP dan formulir SPT (surat pemberitahuan) berupa SSP (surat setoran pajak)
dari KPP.
c)
Mengisi
SPT masa dan SPT tahunan.
d)
Menyetor
pajak yang terhutang kekas Negara atau bank dengan menggunakan SSP.
e)
Melaporkan
hal penyetoran tersebut ke KPP dengan menggunakan SSP yang sekaligus berfungsi
sebagi SPT masa.
f)
Menyampaikan
SPT PPH tahunan ke KPP.[7]
Jika
wajib pajak yang bersangkutan dengan alasan apapun, baik karena kealpaan maupun
dengan sengaja ttidak memenuhi kewajiban perpajakan tersebut, maka pemerintah
(fiscul) berwenang menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang ditambah
dengan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana.[8]
b. Bentuk-Bentuk Pajak
Dalam bentuk-bentuk pajak ini ada beberapa pengelompokkan, yaitu sebagai berikut :
1.
Pajak
menurut golongannya, yaitu :
a.
Pajak
langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Pajak ini harus menjadi
beban sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan. Contohnya; pajak penghasilan,
pajak penghasilan dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang
memperoleh penghasilan tersebut.
b.
Pajak
tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat di bebankan kepada orang
lain atau pihak ketiga. Contohnya; pajak pertambahan nilai.
2.
Pajak
menurut sifatnya, yaitu :
a.
Pajak
subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya dalam
arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.
b.
Pajak
objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan pada
keadaan diri wajib pajak. Contohnya; pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak
penjualan atas barang mewah.
3.
Pajak
menurut lembaga pemungutannya, yaitu :
a.
Pajak
pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga Negara. Contohnya: pajak penghasilan, PPN dan pajak
penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan dan bea materai.
b.
Pajak
daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas :
1)
Pajak
propinsi, Contohnya: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak
bahan baker kendaraan bermotor.
2)
Pajak
kabupaten atau kota madya
3)
Contohnya;
pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan pajak penerangan
jalan.
[1]
Sunagi, Zakat dan Pajak di Indonesia, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2002), h. 12
[2] Ibid.,
h. 15
[3]
Ibid. 26
[4]
Sapri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, (Jakarta : Granit, 2003), h. 114
[5]
Mardiasmo, Op. Cit., h. 5
[6] Ibid.,
h. 125
[7] Ibid.
h. 127
[8]
Siti Resmi, Perpajakan Teori Dan Kasus, (Jakarta : Salemba Empat, 2005), h.
2
No comments:
Post a Comment