Fase Perkembangan Psikologis Siswa Dan Faktor Yang Mempengaruhi |
1. Pengertian Perkembangan Psikologis
Manusia
adalah wujud kesatuan yang terdiri dari fisik dan psikis. Pola-pola prilaku
manusia hanya dapat difahami apabila dilihat dari aspek keduanya, karena
perkembangan kehidupan manusia terdiri dari fisik dan psikis.
Dalam
memahami perkembangan psikologis, ada baiknya diketahui apa yang dimaksud
dengan perkembangan, dimana dalam psikologi yang dibahas adalah perkembangan
rohani sejak manusia lahir sampai ia dewasa yang perubahannya secara terus
menerus dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Perkembangan
tersebut tidak terlepas dari dua faktor, yaitu pengaruh keturunan atau
pembawaan dan pengaruh dunia lingkungan dimana seorang hidup dan dibesarkan.[1]
Menurut Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Perkembangan mengungkapkan bahwa :
Perkembangan menunjukan suatu proses tertentu
yaitu suatu proses yang menuju ke depan dan tidak dapat diulang kembai. Dalam perkembangan
manusia terjadi perubahan-perubahan yang sedikit banyak bersifat tetap dan
tidak dapat diulangi. Perkembangan menunjukan pada perubahan-perubahan dalam
suatu arah yang bersifat tetap dan maju.[2]
Dari
pengartian diatas dapat diambil pengertian bahwa perkembangan merupakan suatu
proses atau tahapan pertumbuhan yang harus dilalui oleh Individu dalam setiap
periode perkembangannya yang diharapkan membawa perubahan kearah yang lebih
maju.
Hal ini
dipertegas oleh pendapat Chaplin (2002) sebagaimana yang dikutip oleh
Samsunuwiyati Mar’at dalam bukunya
Psikologi perkembangan beliau mengartikan perkembangan sebagai perubahan yang
berkesinambungan dan progresif dalam organisme, dari lahir sampai mati.[3]
Pernyataan
di atas identik dengan apa yang diungkapkan oleh Oemar Hamalik bahwa :
perkembangan
menuju pada perubahan yang progresif dalam organisme namum perubahan ini tidak
mengacu pada perubahan dari segi fisik saja (jasmaniah) melainkan perubahan
dapat terjadi dari segi fungsinya, misalnya kekuatan dan koordinasi.[4]
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkembangan berkaitan erat
dengan proses belajar, karena pada intinya baik perkembangan atau belajar
mengacu kepada perubahan dari apa yang telah dipelajarinya, baik dari segi
jasmani maupun rohani yang diaktualisasikan melalui tingkah laku (behaviorisme)
tanpa membedakan organisme yang ada.
Psikologis
yaitu berkaitan dengan psikologi, yaitu sifat kejiwaan seseorang. Sedangkan
psikologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa yang diamati
melalui tingkah laku seseorang. Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat
abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi seluruh perbuatan-perbuatan
sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmaniah, rohaniah,
sosial dan lingkungan.[5]
Berdasarkan definisi di atas dapat
dikemukakan bahwa perkembangan psikologis adalah suatu perubahan yang terjadi
pada diri individu sebagai hasil dari proses belajar dan disesuaikan dengan
kondisi perkembangan psikologis siswa.
2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan psikologis
Pola perkembangan setiap individu
berbeda, banyak dan luasnya perkembangan dalam setiap fase-fase yang dilalui
juga berbeda, seperti halnya pola perkembangan jasmaniah dan pola perkembangan
rohaniah yang tidak sama cepat, bisa saja pola perkembangan jasmaniah cepat,
namun belum tentu dari segi rohaniahnya berkembang cepat pula, akan tetapi bisa
saja berkembang sangat lambat.
Dengan demikian, faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan psikologis akan penulis jelaskan menurut para ahli
dilihat dari segi sudut pandang dan eksistensi siswa yang tidak sama. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologis adalah sebagai berikut
:
a)
Faktot
nativisme
Aliran
atau teori nativisme dengan tokoh utamanya schopenhover dan tokoh lainnya yang
masih termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, Lombroso. Menurut pendapat
aliran ini secara ekstrim menyatakan bahwa “perkembangan manusia itu sepenuhnya
ditentukan oleh faktor pembawaan atau faktor-faktor yang dibawa sejak lahir.”[6]
Sejak
terjadinya konsepsi yakni proses pembuahan sel telur oleh sel jantan, anak
memperoleh warisan-warisan pembawaan dari kedua orang tuanya yang merupakan
potensi tertentu.[7]
Dari beberapa pernyataan di atas penulis
menyimpulkan bahwa aliran nativisme menyatakan baik buruknya, berhasil atau
tidaknya perkembangan individu sepenuhnya bergantung pada pembawaan individu
yang dibawanya sejak lahir.
Para hali dalam teori ini mempertahankan
kebenaran konsepsi ini dengan menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan
antara orang tua dengan anak-anaknya. Kemiripan atau kesamaan antara orang tua
dengan anak-anaknya memang benar banyak terjadi, akan tetapi yang perlu
diragukan apakah benar kesamaan atau kemiripan yang ada pada orang tua dan anak-nakanya
itu benar semata-mata berdasarkan pembawaan yang dibawa sejak lahir ? atau
mungkin juga terjadi karena dorongan rangsangan atau pengaruh dan fasilitas di
luar faktor pembawaan ?. Bagi kaum nativisme akan tetap pada pendiriannya,
karena menurut mereka perkembangan hanyalah mewujudkan unsur pembawaan
semata-mata.
Dengan
demikian, faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa
berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam ilmu
pendidikan aliran ini dikenal sebagai aliran “Pedagogik Pessimisme”
yaitu pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan anak kearah kedewasaan
yang dikehendaki oleh pendidikan.
b)
Faktor
empirisme
Paham
empirisme ini tokoh utamanya ialah Jhon Locke, “teori ini secara ekstrim
menekankan kepada pengaruh lingkungan, teori ini berpendapat bahwa
lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseorang, baik buruknya
perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau
pndidikan.”[8]
Dari
pendapat di atas dapat difahami bahwa teori ini menomor satukan pengaruh
lingkungan atau pendidikan dalam perkembangan manusia. Jadi, teori ini
menganggap faktor pembawaan tidak berperan sama sekali dalam proses
perkembangan manusia. Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang maha kuasa
dalam menentukan perkembangan pribadi
seseorang. Oleh karena itu dalam ilmu pendidikan teori ini disebut dengan
aliran pendidikan “Pedagogik Optimisme” artinya pendidikan maha kuasa
untuk membentuk atau mengembangkan kepribadian seseorang.
Pendidikan
merupakan sarana untuk individu melakukan proses belajar, dari proses belajar
tersebut manusia akan mengalami perubahan-perubahan (perkembangan) baik jasmani
maupun rohaninya, yang dalam ilmu pendidikan perkembangan tersebut mencakup
ranah kognitif, afektif dan Psikomotorik.
Permasalahannya
apakah benar lingkungan atau pendidikan menjadi penentu bagi perkembangan
seseorang, hal ini sangat ironis sekali karena ada orang yang memiliki
lingkungan atau pendidikan yang baik bahkan ia disebut seorang yang terpelajar,
fasilitas yang mencukupi tetapi ia tidakk mampu mengalami perkembangan yang
baik dan tidak mencerminkan sikap dan perbuatan sebagai orang yang terpelajar,
bahkan sebaliknya ada orang yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki
fasilitas lengkap dan bisa disebut miskin ia mampu mengalami perkembangan yang
baik dan memiliki akhlak karimah.
Dari
analisa di atas, penulis berkesimpulan bahwa aliran empirisme adalah aliran
yang mengungkapkan bahwa lingkungnan adalah faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan psikologi dan kepribadian seseorang.
c)
Faktor
konvergensi
Teori
konvergensi yaitu teori yang menjebatani atau menangani kedua teori atau faham
sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu teori nativisme dan teori empirisme.[9]
Dari
pengertian di atas dapa difahami bahwa teori konvergensi adalah teori yang
mengambil jalan tengah, artinya baik faktor pembawaan atau lingkungan
(pendidikan) sama-sama berperan penting dalam proses perkembangan manusia.
Sesuai dengan namanya konvergensi yang
artinya perpaduan, maka berarti teori ini tidak memihak pada salah satu teori
yang mempengaruhi perkembangan seseorang, bahkan memadukan pengaruh kedua unsur
pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan, menurut teori ini
baik unsur pembawaan maupun unsur lingkungan sama-sama merupakan faktor yang
dominan pengaruhnya bagi perkembangan seseorang. Misalnya seseorang yang
berbakat musik tidak akan berkembang menjadi seorang ahli musik apabila tidak
ditunjang oleh lingkungan atau pendidikan yang memadai.
Teori
konvergensi inilah yang hingga sekarang masih teruji dan dapat dipertahankan
kebenaran dan pendapatnya melalui penelitian psikologi perkembangan, sehingga
teori ini statusnya meningkat menjadi hukum perkembangan. Aliran ini dipertegas dalam hadits yang
berbunyi :
مَا مِنْ مَوْلُدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِسَانِهِ
{رواه مسلم}
Artinya : “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anaknya Nasrani,
Yahudi atau Majusi (HR. Muslim).”[10]
Hadits di atas dipertegas dengan firman Allah
SWT dalam surat Ar-Rum ayat 30 yaitu :
فَاَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّيْنُ اْلقَيْمُ وَلَكِنْ اَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ {الروم : 30}
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah (itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum :
30).[11]
Dari hadits dan ayat al-qur’an di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa seorang anak yang lahir dengan membawa bakat
lahiriyahnya atau dalam keadaan fitrah. Konsep fitrah dalam pendidikan yaitu
warisan yang di bawa oleh anak dari orang tuanya, dengan demikian yaitu faktor
keturunannya dan lingkungannya adalah orang tua yang mendidiknya, dimana faktor
yang ada sudah dikembangkan melalui pendidikan dan lingkungan sekitar.
Berdasarkan
uraian di atas mengenai aliran-aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan
perkembangan seseorang, maka penulis berkesimpulan bahwa faktor yang
mempangaruhi tinggi rendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada dasarnya
terdiri :
1)
Faktor
intern, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi
pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan diri
sendiri.
2)
Faktor
eksternal, yaitu faktor yang datang dari luar diri siswa yang meliputi
lingkungan dan pengalaman, khususnya lingkungan pendidikan.
3. Fase perkembangan
psikologis
a) Perkembangan pra sekolah
Dalam dunia pendidikan tingkat keberhasilan belajar siswa tidak hanya
didukung atau ditentukan oleh fase pada masa sekolah saja, melainkan didukung
oleh fase sebelumnya yaitu fase pra sekolah, bahkan ketika anak masih ada dalam
kandungan dapat mempengaruhinya. Oleh karena itu pengendalian dari pada orang
tua harus dapat terwujud, agar perkembangan anak berjalan secara baik.
Menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya psikologi perkembangan anak dan remaja
menyatakan bahwa pada masa usia pra sekolah ini dapat dibedakan menjadi dua
masa, yaitu masa vital dan Masa estetik.[12]
1) Masa vital
Masa bayi disebut juga sebagai periode vital, karena kondisi fisik dan
mental bayi menjadi fundasi kokoh bagi perkembangan dan pertumbuhan
selanjutnya.[13]
Pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan
berbagai hal dalam dunianya, untuk masa belajar freud menamakan tahun pertama
dalam kehidupan individu itu sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang
sebagai sumber kenikmatan dan ketidaknikmatan. Anak memasukan apa saja yang
dijumpai kedalam mulutnya itu, tidaklah karena mulut merupakan sumber utama,
tetapi karena waktu itu mulut merupakan alat untuk melakukan eksplorasi
(penelitian) dan belajar.
Pada tahun kedua anak telah belajar berjalan secara bertahap. Pada tahun
ini umumnya terjadi pembiasaan terhadap keberhasilan (kesehatan) melalui
latihan keberhasilan ini, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau
dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya (umpamanya buang air kecil dan
buang air besar).
2) Masa estetik
Pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan keindahan, kata estetik
disini dalam arti bahwa pada masa ini, perkembangan anak yang utama adalah
fungsi panca inderanya. Kegiatan eksploitasi dan belajar anak juga terutama
menggunakan Panca Inderanya.
Pada periode perkembangan pra Sekolah ini Comenius lebih menitik beratkan
aspek pengajaran dari prose pendidikan dan perkembangan anak, tahun-tahun
pertama 0 – 6 tahun disebut periode
sekolah – Ibu.[14]
Dari pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa seorang ibu
memiliki peranan penting pada masa perkembangan pra sekolah, karena hampir
semua usaha bimbingan pendidikan (ditambah perawatan dan pemeliharaan) berlangsung
di tengah-tengah atau lingkungan keluarga, terutama sekali aktivitas ibu sangat
menentukan kelancaran proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
b)
Perkembangan usia sekolah
1)
Tingkat operasional konkret (7 – 12 tahun)
Fase ini anak berada pada usia SD disebut juga Masa Sekolah rendah.[15]
Usia 7 – 12 tahun sistem kognitif yang terpadu dalam pengorganisasian mulai
berkembang. Proses berfikir tidak lagi bersifat statis, semua yang digunakan
secara sadar sebagai alat pengembang fikiran.
Para pendidik menyebut masa ini dengan usia sekolah dasar karena pada
masa ini anak masanya untuk masuk atau mengikuti pendidikan di sekolah dasar
dengan harapan memperoleh dasar pengetahuan dan keterampilan yang penting,
artinya untuk keberhasilan penyesuaian hidup dimasa dewasa nanti.
Alisuf Sabri menyatakan bahwa periode ini disebut juga “periode kritis
dalam dorongan berprestasi.” Karena pada masa inilah kebiasaan untuk mencapai
sukses, tidak sukses dan sangat sukses dibentuk. Sekali kebiasaan prestasi ini
terbentuk akan cenderung menetap selamanya.[16]
Sifat khas usia SD adalah : a) ingin mengetahui yang ada dalam dunia
nyata, b) tidak tergantung pada orang lain, c) adanya kbutuhan persahabatan, d)
berkompetisi dengan sehat, e) mempunyai sifat kepemimpinan dan, f) memiliki
kemampuan dan kekuatan.
2)
Tingkat operasional formal (12 tahun s/d ke atas)
Masa usia ini bertepatan dengan masa remaja yang selamanya hangat dan
menarik, karena periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke
periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat peting dalam
kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu.[17]
Pada fase ini anak mengenal dunia malalui logika dan praduga secara
sistematis, anak mampu merumuskan hipotesis tentang dunia sekitar, sehingga
permasalahan dapat diatasi dengan berbagai cara yang berbeda. Hal ini
dikemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak membutuhkan orang dewasa,
yaitu melalui guru yang mampu berupaya memahami prinsip-prinsip perkembangan
dan karakteristik anak sesuai dengan tingkat usianya.
Dengan demikian guru diharapkan lebih mampu menciptakan suasana kegiatan
belajar mengajar yang kondusif sesuai kebutuhan anak. Dipandang dari segi
pendidikan masa ini merupakan masa yang sukar, karena anak mengalami goncangan,
dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini sikap yang paling
bijaksana adalah dengan mengambil jalan tengah, yaitu menghadapi dengan sikap
yang tidak ekstrim, baik-baik menekan maupun memanjakan.
4.
Tujuan
mengetahui perkembangan psikologis siswa
Dilihat dari segi perkembangan psikologisnya keharusan bagi setiap guru
untuk mengetahui taraf kematangan yang telah dicapai serta taraf kesediannya
untuk belajar adalah mutlak. Guru harus menjaga taraf kematangan dan taraf
kesediaan siswa pada setiap proses belajar dan pada setiap pengalaman yang
ingin dipelajarinya. Hal ini dilakukannya agar usahanya berhasil dan menjamin
siswa dapat mengambil menfaat dan unsur-unsur yang dilakukannya dalam
pengajaran, bimbingan dan pelatihannya.[18]
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan usaha
untuk meningkatkan kemampuan peserta didik pada taraf tertentu oleh karena itu
seorang guru dituntut penguasaan terhadap kemampuan sebagai guru yang
professional dalam bidangnya. Ketidakmampuan guru dalam melihat perbedaan anak
didik di dalam kelas yang dihadapi banyak membawa pengaruh kegagalan dalam
memelihara dan membina tenaga manusia secara sfektif.
Dengan demikian, guru harus dapat memperhatikan perbedaan-perbedaan
individual anak, sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat diperoleh dengan
sebaik-baiknya adapun perbedaan-perbedaan itu antara lain:
a)
Waktu dan irama perkembangan
b)
Motif, inteligensi dan emosi
c)
Kecepatan belajar atau menangkap pelajaran
d)
Pembawaan dan lingkungan.[19]
Dalam prilaku belajar terdapat motivasi belajar. Motivasi belajar
tersebut ada yang Interinsik atau eksrinsik. Penguatan motivasi, motivasi
belajar tersebut berada ditangan para guru atau pendidik dan anggota masyarakat
lain.[20]
Oleh karena itu, guru berbicara dengan anak didiknya sesuai dengan akal,
taraf kematangan dan pemahaman mereka, disamping itu guru harus mengajar
disesuaikan dengan kematangan jasmani, akal dan emosi mereka sesuai dengan
kondisi kejiwaannya. Banyaknya anak yang gagal sekolah atau drop out
dikarenakan juga sebagai akibat dari praktek mengajar yang melupakan perbedaan
individual anak, selain faktor lain seperti latar belakang sosial ekonomi,
keluarga atau sebab lain. Dengan memperhatikan segi psikologi siswa, maka ini
dapa memberikan kesempatan pada siswa untuk dapat belajar sesuai dengan minat,
bakat, tempo dan cara belajar yang efektif bagi mereka.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan mengetahui
psikologis siswa ini bermaksud agar seorang guru dapat berhati-hati dalam
mengajar anak didik, sehingga anak didik dapat diperlakukan sebagai manusia
biasa dan bukanlah sebagai anak kecil,
dengan mengetahui kondisi ini maka proses kegiatan belajar mangajar (KBM) dapat
berjalan secara efektif dan efisien dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
dapat tercapai dengan sebaik-baiknya dengan tetap memperhatikan dan disesuaikan
dengan kondisi perkembangan psikologis siswa yang berbeda.
[1]
Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), h. 5
[2]
Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), h. 1
[3]
Samsunuwiyati Mar’at, Psikologi Mengajar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 4
[4]
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), h. 84
[5] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), h. 9
[6] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 35
[7]
Surnadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grafindo
Persada, 1984), h. 177
[8]
Alisuf Sabri, Op. Cit., h. 36
[9] Ibid.,
h. 37
[10]
Al-Imam Muslim,Terjemah Hadits Shahih Muslim Jilid I, II, III dan IV,
(Malaysia : Klang Book Centre, 1997), h. 242
[11]
Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,
1989), h. 645
[12]
Syamsu Yusuf, Psikologi Anak Dan Remaja, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 23
[13]
Kartini Kartono, Psikologi Anak “Psikologi Perkembangan”,
(bandung: Mandar Maju, 1995), h. 78
[14] Ibid.,
h. 34
[15]
Ahmad Fauzi, Op. Cit., h. 79
[16]
Alisuf Sabri, Op. Cit., h. 20
[17]
Irwanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Prenhallindo, 2002), h. 46 –
47
[18]
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetiya, Strategi Belajar Mengajar,
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 112 – 113
[19] Ibid.,
h. 114
[20]
Dimyati dan Muljiono, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 94
No comments:
Post a Comment